Pengantar Budi Adi Soewirjo
Saya pertama kali mengenal nama Rudi Wiratama Partohardono dari tulisan komentar di dinding dan unggahan-nya photo wayang kulit purwa di situs FB Wayang Indonesia. Dan saya mengirimkan permohonan untuk jadi teman di FB. Awal bulan ini saya membaca satu tulisan dia di bagian catatan akun nya. Suatu tulisan – untuk tujuan berbagi dengan teman-temannya – tentang apa yang dia ketahui saat ini mengenai ‘ rupa dan bentuk wayang kulit purwa Jawa ditinjau dari mazhab / aliran nya ‘. Menurut saya tulisan ini menarik dan bisa menjadi bahan pengayaan bagi peminat wayang kulit purwa. Saya minta ijin dia agar Wayang Purwa Buku bisa menampilkan tulisannya itu. Di bawah ini tulisannya.
Sekilas profil Rudi WP. Lahir di Surakarta tahun 1990. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah (SMA) di Surakarta. Minat dan pengetahuan tentang wayang didapat keluarga / “simbah” (kakek / nenek), dan diperkaya dengan adanya kesempatan bertemu / berkumpul dengan para seniman Surakarta. Saat ini Rudi WP menimba ilmu pada semester pertama di Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Admin mengucapkan selamat kuliah kepada Sdr Rudi WP. Kami WPB menantikan tulisan berbagi Anda selanjutnya. Salam.
Rupa dan bentuk wayang kulit purwa Jawa ditinjau dari “mazhab” / “aliran” nya.
Oleh Rudi Wiratama Partohardono, Surakarta, 01 Oktober 2009.
Kali ini, saya hanya akan memberikan suatu tulisan untuk “tombo kangen”, yaitu hasil wawancara dan obrolan saya dengan para nimpuna, sekaligus pengetahuan-pengetahuan yang telah mereka berikan kepada saya selama ini. Bagi saya, membagi pengetahuan kepada orang lain adalah wujud rasa terimakasih saya kepada mereka para resi di bidang pedalangan dan pewayangan yang telah memberi izin saya untuk menyerap ilmunya, meskipun sedikit saja.
Di sini, saya akan menyoroti tentang wayang dari segi rupa dan bentuknya,terlebih lagi setelah saya mendengar cerita tentang banyaknya orang yang tertipu membeli wayang kuno, yang sejatinya adalah produk abal-abal palsuan perajin.Di lain sisi, kita sendiri sebagai pelaku maupun penikmat pewayangan, seringkali masih kesulitan untuk memilah dan mengidentifikasi perangkat wayang yang sejatinya penting peranannya dalam ilmu pedalangan. Maka dari itu, besar dorongan untuk menulis artikel ini, semoga bermanfaat dan bilamana ada kurangnya, kami mohon anda untuk sudi memberikan tambahan, yang akan saya terima dengan lega-legawa.
1. Tentang Wayang Kulit Gaya Surakarta.
Wayang kulit Gaya Surakarta, seperti yang kita ketahui, adalah sebentuk wayang yang berangkat dari budaya keraton. Meskipun begitu, di luar tembok keraton seperti yang telah diuraikan dalam beberapa buku, berkembang pula beberapa subgaya regional yang tumbuh dan berakar di hati masyarakat pendukungnya, dan memperkaya khazanah dunia pedalangan di Surakarta. Adapun sepengetahuan saya wayang gaya Surakarta di luar tembok keraton dapat dibagi dalam beberapa mazhab, seperti:
a. Gaya CERMAPANATASAN
Ki Cermapanatas, menurut riwayat adalah seorang abdi dalem penatah pada masa Pakubuwana X (1893-1939) di Surakarta. Ia dianggap sebagai cikal-bakal penatah di wilayah Sonorejo di Sukoharjo dan Butuh Sidowarno di Klaten. Karena kedudukannya sebagai penatah keraton, maka untuk menyaksikan karyanya otomatis kita bisa melihatnya pada koleksi wayang Keraton dengan tanda PB X pada palemahannya. Ciri dari tatahan Cermapanatasan adalah tatahannya yang padhang, wijang, serta pada wayang bokongan tatahan kakinya dimenangkan, sehingga nampak seperti terlihat siluet kakinya dari balik kain yang dikenakan. Pola tatahan seperti ini, dikatakan merupakan warisan dari tatahan Keraton sebelumnya.
b. Gaya KLATHENAN
Klathen, sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, khususnya kesenian wayang purwa, memiliki sejarah yang panjang dalam dunia seni. Salah satu sumber sejarah, yaitu Serat Kaki Walaka, menyebutkan bahwa Klathen menjadi pusat seni pedalangan di masa lalu karena “sawab” dari Sunan Kalijaga yang mendidik kader-kader dalangnya di daerah ini pada saat berdakwah di Jawa Tengah bagian selatan.Oleh karena itu tak mengherankan bahwa Klaten menjadi gudangnya dalang. Dikisahkan pula dalam Babad Panjangmas, bahwa setelah kerajaan Mataram berpindah ibukota ke Kartasura, dalang keraton Kyai Panjangmas II diberi wilayah perdikan di daerah Pusur, Polanharjo, Klaten, tepatnya di utara Kali Pusur dan sekitarnya, dan kemudian dari situ menyebarlah keturunan beliau ke berbagai penjuru di Jawa Tengah, begitu pula keturunan murid-muridnya.
Wayang Klathenan terkenal karena mutu “wanda” dan “kapangan” atau anatomi dan proporsinya yang baik, juga “bedhahan” atau anatomi muka yang mengesankan. Dalam gaya Klatenan sendiri ada beberapa subgaya, seperti gaya Klathenan Prambanan yang condong ke gaya Yogyakarta, ada pula gaya Klathenan Jombor atau Martonegaran, juga gaya Klathenan minor seperti Manjungan dan lain sebagainya. Wayang gaya Jombor dianggap sebagian orang sebagai “rajanya” wayang Klaten, karena berpostur tinggi besar namun tetap pantas, proporsional. Menurut dugaan saya, dari asal katanya dapat ditebak bahwa wayang ini dibuat sejak masa pemerintahan Tumenggung Martonegoro, Bupati Klaten yang pertama.
Beberapa ciri endemik yang ada pada wayang Klathenan ialah:
1. Motif lung-lungan pada praba berbentuk “kawatan”
2. di dekat cambang atau godheg diberi tatahan “kembang tanjung”
3. Jari kaki belakang tidak ditatah
4. Tatahan lugu, wijang dan semu, sunggingan sederhana tapi semu
5. Kapangan ramping, singset tapi tidak kelihatan jangkung
6. Bedhahan biasanya jelas atau padhang
7. Motif bludiran biasanya besar-besar, kaku dan tanpa drenjeman
c. Gaya KLECAN
Gaya Klecan diambil dari kata Kleco, ialah kampung di ujung barat kota Surakarta, tempat mukim Mbah Parto, seorang penatah wayang terkenal pada pertengahan abad ke-20. Ia menurunkan putra-putra yang juga penatah seperti Bp. Satirno (Makamhaji Kartasura) dan Bp. Saimo (Jakarta). Menurut riwayat, mulanya ia berasal dari Manyaran, Wonogiri, namun kemudian menetap di Surakarta. Karenanya, gaya Wonogiren-nya tidak kental, namun memiliki karakteristik sendiri. Wayang buatan beliau banyak dicari orang karena kapangannya bagus dan tatahannya ngrawit(ada yang mengatakan, setelah akhir hayatnya, karena usia tua tatahannya menjadi agal,tetapi tetap mapan). Ciri khususnya adalah:
1. Rambut diserit rangkap (blebekan)
2. Pada bagian dahi wayang sinoman (memakai poni) diberi motif tatahan kringetan sampai berlubang
3. Sembuliyan lamba, tidak terlalu tajam tekukannya
4. Sunggingannya sudah bergaya Surakarta klasik (condong ke sunggingan Sukoharjan atau Klatenan)
5. pada palemahan ditatah huruf “HS”
Dulu saya pernah menemukan satu set wayang karya beliau, milik seorang Tionghoa pensiunan PJKA di Surakarta. Sayangnya wayang tersebut sudah dijual pemiliknya karena tidak ada yang mau mewarisinya.
d. Gaya KARTASURAN
Gaya Kartasuran ialah gaya yang barangkali paling tua di daerah Surakarta. Dipercaya wayang kulit gaya Kartasuran telah timbul semenjak pemerintahan Adipati Puger atau PB I di Kartasura. Gaya Kartasura dibagi menjadi dua subgaya, yaitu Kartasura Mangkuratan yang condong ke gaya Kedhu, dan Kartasura Pugeran yang merupakan peralihan gaya Mataram (dilestarikan oleh Ngayogyakarta) ke gaya Surakarta.Wayang Kulit Gaya Kartasura, sepengetahuan penulis ada tiga set yang masih lestari, ialah:
1. Kyai Pramukanya di Keraton Surakarta
2. Wayang koleksi Prof. Yuwono Sri Suwito, guru besar UGM Yogyakarta
3. Wayang koleksi Raffles yang dihibahkan ke British Museum.
Adapun ciri-ciri wayang gaya Kartasura adalah:
1. Kapangan gemuk, kekar. Bedhahan muka biasanya kepu (bulat)
2. Mata kedelen dan gabahan biasanya berpola “blebesan”
3. Mata thelengan bulat besar dengan ekor mata pendek, hampir seperti gaya Yogyakarta
4. Kumis tokoh gagahan bermuka hitam ditoreh dengan budri seperti gaya Surakarta, namun polanya seperti motif hias wayang Yogyakarta
5. Pada beberapa tokoh, masih memakai simbar (bulu dada) sunggingan, bukan budri
6. Werkudara dan Bratasena memakai cawat dan bersumping Pudhak Setegal seperti wayang Yogya
7. Tokoh kera bermata dua, seperti tokoh raksasanya.
8. Tatahan wijang, sunggingan masih sederhana
9. Garuda Mungkurnya umumnya pendek tapi melebar pada bagian mukanya. Tokoh Suyudana memiliki garudan mungkur yang “mayuk” atau condong ke belakang seperti wayang Yogyakarta
Wayang Gaya Kartasura termasuk langka dan bernilai tinggi, karena mengandung nilai historis sebagai mata rantai yang hilang antara gaya Mataram dan Surakarta.
e. Gaya WONOGIREN
Menurut suatu sumber, gaya Wonogiren dinisbatkan kepada Kyai Brastho, seorang penatah pada masa Pakubuwana X. Ia menetap di Manyaran dan menularkan ilmunya kepada anaknya, yang selanjutnya menjadi cikal bakal penatah Manyaran. Ciri wayang Wonogiren yang masih bisa dilacak ialah:
1. Kapangan seperti gaya Surakarta namun kakinya agak pendek (kak-kong)
2. Tatahan lembut dan garapannya rapi, namun bedhahan tidak se-semu wayang Klathenan
3. Sunggingannya cerah dan banyak garapannya.
f. Gaya Surakarta PESISIRAN
Gaya Surakarta Pesisiran umumnya dipergunakan untuk menyebut wayang Purwa gaya Surakarta yang beredar di wilayah pesisir utara seperti Blora, Pati, Jepara dan Purwodadi. Wayang di daerah ini umumnya tatahan dan sunggingannya sederhana, banyak memakai motif kain “ceplok” seperti sunggingan wayang klithik yang memang banyak beredar di sana. Wayang Surakarta Pesisiran ini memiliki tokoh kera yang ukurannya besar-besar dibanding wayang Surakarta. Sering pula terjadi wayang Pesisiran bercampur dengan gaya Pesisiran Wetanan (Pesisiran Jawa Timur) karena kedekatan geografisnya. Meskipun begitu karena kultur rakyatnya yang Mataraman, bentuk wayangnyapun masih mengacu gaya Surakarta asli, bukan Dakdong atau Jawatimuran.
g. Gaya SRAGENAN
Gaya Sragenan diciptakan oleh para dalang asal Klaten yang berkelana di Sragen, seperti Ki Gandabuwana almarhum dan Ki Gandadarman almarhum. Ciri yang jelas dari wayang Sragen ialah:
1. Werkudara, Bratasena, dan Rajamala umumnya jujudan
2. Sunggingan cenderung gelap
3. Tatahan sak madya namun kokoh, karena untuk keperluan teknis
4. Kapangan sebet
Yang menjadi ciri khas wayang Sragenan di antaranya ialah:
1. Werkudara wanda SANGGEM (Bugis)
2. Baladewa wanda JAGO
3. Arjuna wanda SABET
4. Kumbakarna wanda Barong Sragenan atau Kyai DAL
5. Wayang Purwa berbusana rampekan
6. Punakawan gundul bercelana panjang
7.Wayang Ramayana kreasi baru
Selain itu terdapat pula beberapa sub-gaya yang kurang populer,seperti:
a. Wayang MADIUNAN
Wayang asli Madiun justru menurut suatu sumber ,mirip dengan wayang Yogya. Hal ini mungkin dikarenakan di masa penjajahan dahulu Madiun adalah wilayah Mancanagari bawahan keraton Ngayogyakarta. Adipati Madiun Rangga Prawiradirja bahkan adalah menantu Hamengku Buwana III. Sayangnya di Madiun kini dalang lebih banyak memakai wayang gaya Surakarta.
[ Sumber tulisan Rudi Wiratama Partohardono. ]
[ Sumber tulisan Rudi Wiratama Partohardono. ]
Blogger Comment
Facebook Comment