Ini balada tentang orang-orang kalah. Karena sejarah selalu milik sang pemenang, mereka yang kalah sering dianggap tak pernah hadir dan tak pernah dilahirkan. Nasibnya seperti teks salah ketik: hapus saja.
Oleh Hendy Adhitya
Namanya Mansur Darga. Ia dilahirkan di negeri yang konon punya julukan sebagai Andalusia kedua, Turkistan. Jika suatu waktu orang bertanya, dimana letaknya dalam peta dunia, kebanyakan orang akan menjawabnya dengan mengangkat bahu dan gelengan kepala. Sebab Turkistan telah hilang, hilang dianeksasi dua negara komunis, Rusia dan Cina.
Secara geografis letak Turkistan berada diantara kedua negara besar tersebut. Itu berarti saat itu, 1930-an dimana praktek imperialisme masih terus berlangsung di hampir seluruh belahan dunia- bagi negara-negara imperialis merupakan sasaran empuk untuk menyebarkan isme-isme. Dan inilah konsekuensi dari sebuah negara kecil: ketidakberdayaan dan keterbatasan, pada akhirnya dibagidipecah. Turkistan dibagi dua, Turkistan Barat dikuasai Rusia, sedangkan Turkistan Timur dikuasai Cina.
Mansur seperti warga Turkistan lain, yang dilahirkan dalam negeri yang meluhurkan nilai-nilai Islam, menganggap intervensi Rusia dan Cina sebagai najis. Marxisme dan komunisme yang meniscayakan peniadaan hak milik merupakan ajaran bid'ah yang harus dicegah agar tidak merasuki telinga-telinga pemuda Turkistan. Maka ia kemudian memberontak bersama pemuda-pemuda Turkistan lain yang ingin terus menjaga kemurnian Islam. Ia tergabung dalam pasukan gerilya pimpinan Khojah Niaz.
Tapi dalam catatan perjalanan pemberontakannya, Mansur selalu dihinggapi rasa pesimis. Ia cemas, gelisah dan imannya gampang goyah. Kekalahan dan kemenangan yang didapat setiap bertempur melawan pasukan Rusia dan Cina secara akumulatif turut memberi andil pada perubahan sikapnya. Sebagai orang yang percaya terhadap kejayaan masa silam agama, ia merasa heran mengapa kejayaan itu tidak terjadi lagi kini. Ia berpikir bahwa Tuhan sedang berpihak kepada musuh.
”...Mengapa kita mengalami penyiksaan dan penghinaan semacam ini?! Mengapa kita dibiarkan terhina, Mustafa? Mengapa kita dibiarkan kalah?”, Katanya kepada seorang teman. Sepertinya ia sedang mengaduh kepada Tuhan.
Lalu orang-orang membaca Hobbes. Ia menganggap kemunculan pesimisme manusia sebagai hasil logis dari kepentingan diri sendiri. Jika mau dikatakan bahwa hal yang diperbuat Rusia dan Cina merupakan intervensi, penggunaan kosakata itu tidak sepenuhnya benar. “Karena manusia itu sama,” Menurutnya, “...mereka merasa perlu menyerang pihak lain dan ingin berkuasa untuk melindungi kenikmatan masa depan yang mereka punyai saat ini”.
Sementara Erich Fromm dalam Escape from Freedom (1997) berseberangan dengan Hobbes. Pesimisme yang dialami Mansur, pejuang itu, merupakan konsekuensi logis dari arti kebebasan yang ambigu. Kebebasan disatu sisi berarti kesempatan individu untuk mandiri, -dalam artian individu merupakan entitas yang terpisah dari dunia luar- namun disisi lain kebebasan memunculkan perasaan gelisah dan cemas karena individu sendirian. Karena itu kegoyahan iman Islam Mansur, pesimismenya, merupakan kewajaran bagi orang yang tengah menuntut kebebasan.
Erich Fromm menawarkan jalan keluar. Ada usaha lain untuk menghindari kecemasan dan pesimisme yang diakibatkan oleh kebebasan- manusia. Jalan itu adalah aktivitas spontan, cinta dan kerja produktif. Dengan arti lain, ini berarti menunjukkan ”kepatuhan”. Sebuah kebebasan yang diatur.
Namun bagi Mansur, tidak ada yang namanya ”kepatuhan”. Kebebasan harus bersifat mutlak. ”Kepatuhan” terhadap yang di luar ”dirinya” merupakan bentuk pengkhianatan terhadap ”ikatan-ikatan primer” Islam yang ditanamkan orang tuanya sejak lahir. Ia secara tiba-tiba- menepis semua keraguan. Mansur yang mulanya seorang pencemas kemudian berubah menjadi seorang yang berani. Pada tahap ini, jiwanya kadung militan.
Maka dengan gagahnya Mansur menaiki menara masjid, berbekal senjata dan peluru ia habisi sendirian orang-orang komunis Rusia yang berniat merebut masjid. Sembari berteriak lantang menyebut nama Tuhan, Mansur berhasil menewaskan tiga orang komunis dengan pelurunya. Tapi kemudian ia kalah jumlah. Pasukan komunis Rusia terus berdatangan, mereka memberondong Mansur yang sendirian.
Akhir cerita, pelor-pelor imperialis berhasil menembus raganya yang rapuh. Mansur kemudian jatuh, tersungkur di tanah bermandikan darahnya sendiri. Ia mati. Mati sebagai syuhada. Di sisi lain kematiannya adalah tragedi. Ia kalah ragawi. Begitu pula dengan perjuangan rakyat Turkistan sesudahnya.
Negeri ini pada akhirnya sirna di kaki raksasa Rusia dan Cina. Mereka yang mati berjuang sebenarnya telah menemukan kemenangannya. Kemenangan yang merindu akan kebebasan. Karena -mengutip Erich Fromm-, ”Ia mungkin menderita kelaparan atau penindasan, namun ia tidak menderita. Karena kesakitan yang paling buruk dari segala penderitaan adalah kesepian dan keraguan total”.
[ Sumber: hendiva87@yahoo.com : www.hendy.co.nr ]
Blogger Comment
Facebook Comment