Langkah-Langkah Menatah Wayang (1)


Tulisan ini adalah catatan pengalaman Rudy Wiratama Partohardono yang didapatkan dari beberapa penatah wayang di Sukoharjo, Klaten dan Wonogiri. Seperti apakah teknik penatah wayang yang biasa dilakukan para seniman tradisional Indonesia dalam membuat wayang? Berikut kutipannya dalam dua seri tulisan:


Kita tidak akan membahas teknik dan pola tatahan pada tulisan ini, karena tentang masalah teknis penatahan wayang telah banyak dibahas di laman e-wayang, yang juga sering saya jadikan referensi rujukan untuk menulis.Dalam pembuatan wayang tahap tatahan, ada beberapa langkah yang harus diperhatikan benar-benar, untuk menghasilkan wayang yang berkualitas baik dan indah. Langkah-langkah itu adalah:
1. Pemilihan Bahan Baku
2. Pengolahan Bahan Baku
3. Penanganan Bahan Baku

Ketiga langkah ini, kesemuanya amatlah vital dan tidak ada satu elemen pun yang boleh diabaikan agar wayang yang diciptakan dapat tampil indah dan tahan lama. Langkah-langkah ini pun masih diperinci dalam beberapa poin seperti berikut:

Pemilihan Bahan Baku
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa kulit hewan rajakaya atau ternak besar adalah bahan baku utama dalam pembuatan wayang kulit. Perkamen kulit dari hewan jenis ini dipilih, karena memiliki karakteristik yang lebih ulet dan keras dibanding hewan lain (seperti unggas atau reptilia misalnya), sehingga bila digunakan untuk membuat wayang akan lebih stabil dan tahan lama. Ada beberapa jenis kulit yang digunakan untuk membuat wayang, di antaranya:

a. Kulit Kerbau
Kulit kerbau adalah kulit yang paling lazim digunakan untuk pembuatan wayang di Jawa. Kulit kerbau dipilih, karena memiliki karakteristik keuletan dan tingkat kepadatan paling tinggi, sehingga bila diolah menjadi wayang akan lebih lempang, tahan lama dan cenderung kuat, terlebih bila ditatah dengan pola-pola yang rumit dan padat seperti limaran atau seritan yang hanya meninggalkan sedikit sisa pahatan yang tipis dan rawan.
Menurut buku-buku yang saya baca, jenis kulit kerbau yang terbaik adalah kerbau jaka, atau jemaka, yang artinya baru saja beranjak dewasa, karena hasilnya bening dan mudah ditatah, tidak keras. Sementara ada juga yang mengatakan kalau kulit kerbau yang terbaik adalah yang menderita penyakit kulit (gudig). Menurut pandangan ini, kerbau yang menderita penyakit kulit ini, kandungan lemaknya akan lebih rendah dibanding yang tidak. Sementara pada realitanya para penatah ada juga yang menyukai kulit kerbau dewasa, bahkan ada yang menghindari kulit kerbau berpenyakit, karena bekas penyakit itu dapat menyebabkan kulit kerbau berlubang atau menggelombang.
Plus-Minusnya:
Plus: Hasil baik, mudah perawatannya, tahan cuaca, gampang ditambal bila terjadi kerusakan
Minus: Harga mahal karena sekarang agak sulit ditemui di beberapa daerah

b. Kulit Sapi
Dalam peringkat kualitas, kulit sapi menduduki peringkat kedua untuk digunakan sebagai bahan wayang kulit. Dari segi harga dan persediaan, kulit sapi sekarang relatif lebih mudah ditemui dan karenanya harganya pun lebih murah. Akan tetapi, untuk mengolah kulit sapi ini perlu perhatian khusus: Kandungan lemak dari kulit sapi lebih banyak daripada kulit kerbau, sehingga proses pengeringannya harus dilakukan lebih lama dibanding kulit kerbau.
Bila kulit sapi kurang sempurna dalam pengolahannya, maka hasil yang didapatkan akan kurang tahan cuaca: bila cuaca sedang panas dan kering, wayang akan terasa ringan, sementara dalam cuaca lembab, wayang akan terasa berat dan tebal (nggedabel-Jw).{ Lebih lanjut tentang cara pengolahan kulit ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.}
Menurut beberapa penatah, bila ditangani dengan benar kulit sapi justru akan menghasilkan wayang yang bersifat lebih lentur, tidak seperti kulit kerbau yang cenderung keras. Kelenturan ini justru membuat kulit sapi menjadi lebih tahan terhadap tekukan, lipatan atau kecelakaan-kecelakaan lain yang tidak disengaja dalam memainkan wayang. Adapun kulit kerbau banyak diminati, hanya sekedar karena penanganannya lebih mudah, lebih cepat dan lebih ‘enak’ ditatah.
Plus-Minus:
Plus: Murah harganya, lebih banyak ditemui, bahkan bila benar cara pengolahannya akan lebih baik dari kulit kerbau.
Minus: Perlu perhatian ekstra dalam pengolahannya

C. Kulit Split
Kulit Split pada dasarnya sama saja dengan kulit lain, karena berbahan baku dari kulit kerbau atau sapi. Namun mengapa ia menduduki peringkat ketiga dalam pembuatan wayang kulit? Kulit split memiliki harga yang lebih murah dari selembar kulit sapi atau kerbau, karena ia dibuat dengan cara membelah dua (split) selembar kulit, sehingga yang mestinya hanya selembar bisa menjadi dua atau tiga lembar perkamen tersendiri.
Kulit split ini satu sisinya halus dan sisi lainnya lagi kasar, karena serat-serat kulit yang dalam proses tradisional dikikis sedikit demi sedikit justru “dipaksa” terpotong dengan bantuan mesin. Akan tetapi ada juga kulit split yang halus pada kedua sisinya, meski tidak sehalus kulit olahan tradisional.
Ada dua macam split yang beredar di pasaran: yang bening dan agak halus, harganya lebih mahal, dianggap baik juga untuk membuat wayang. Hal ini dikarenakan karakternya yang bening (ngaca-Jw), meski lebih keras dan kaku dibanding kulit kerok tradisional. Split yang kedua berpermukaan lebih kasar, agak tipis dan kurang bening. Split yang satu ini sering digunakan untuk membuat wayang untuk keperluan hiasan dinding, sketsel atau keperluan lainnya, atau untuk membuat wayang sabet dengan budget minimal.
Plus-Minus:
Plus: Bening tanpa harus diolah, lebih murah, banyak tersedia
Minus: Perlu penanganan ekstra, mudah melengkung bila kurang tebal atau keliru penanganannya. Setelah menjadi wayang pun perlu penanganan lebih bila dibanding wayang berbahan kulit biasa

-Kulit yang harus dihindari-
Agar tak ‘tertipu’ di kemudian hari, perlu diketengahkan juga beberapa jenis kulit yang harus dihindari (kecuali bila Anda tidak menggunakan wayang untuk keperluan sabet atau lainnya)
a. Kulit Nggabus
Disebut dengan istilah seperti ini, karena kulit menjadi rapuh dan lunak seperti gabus. Hal ini terjadi karena lemak sudah terlanjur meresap dalam lapisan kulit sebelum kulit itu ditangani, sehingga kulit menjadi berwarna keputih-putihan. Kulit ini bila dibuat wayang akan rapuh dan mudah rusak.
Cara mengetahui kulit tersebut nggabus atau tidak dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Amati bekas tatahannya. Bekas tatahan pada kulit ini meninggalkan serabut, kurang terang.
2. Tekuklah perlahan sebagian dari kulitnya. Bila tekukan ini bisa dikembalikan ke posisi semula, berarti kulit tersebut baik, karena bersifat lentur dan kuat. Kulit nggabus tidak akan kembali ke posisi semula, bahkan mudah patah.
3. Sebelum disungging, wayang tentu diamplas. Bila bekas amplasannya berserabut dan kasar, berarti kulit bahannya nggabus juga.
b. Kulit Uyahan
Istilah ini digunakan untuk menyebut kulit yang diawetkan dengan garam. Bila telah menjadi wayang, kulit uyahan akan terasa lembek, tebal dan “basah”.
Wayang dari kulit uyahan pada umumnya mudah luntur warnanya, bila dicat dengan brom sering berubah kehijau-hijauan, dan kurang tahan lama. [ Tulisan Rudy Wiratama Partohardono.]
Share on Google Plus

About okokokokok

    Blogger Comment
    Facebook Comment